top of page

GEDUNG - B

Nekropolis Gilimanuk

 

Gilimanuk adalah situs prasejarah yang berada di ujung barat Pulau Bali, tepatnya di kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi bali, berdekatan dengan pelabuhan yang menghubungkan Pulau Bali dan Jawa. Situs ini memiliki luas kurang lebih 20 hektar, tetapi semakin hari semakin berkurang karena dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Situs Gilimanuk banyak menyimpan peninggalan masa lalu berupa sisa-sisa kehidupan, seperti rangka manusia, binatang, dan berbagai peralatan. Berdasarkan penelitian, kehidupan di Gilimanuk sudaqh berlangsung sejak awal abad masehi sampai beberapa abad kemudian. Bertitik tolak dari potensi tersebut adalah sangat tepat di situs Gilimanuk diditikan museum lapangan. Keberadaan museum lapangan di Gilimanuk  sangat strategis sebagai media pembelajaran , pelestarian, dan rekreasi. Oleh krena demikian untuk tercapainya keinginan tersebut, keterlibatan para pemangku kepentingan sangat diharapkan.

Gilimanuk adalah situs nekropolis atau situs kuburan prasejarah yang terletak di ujung barat pulau Bali, yaitu di tepi telik Gilimanuk pada ketinggian sekitar 5 meter di atas permukaan laut. Situs ini ditemukan oleh (alm) Prof. Dr. R.P Soejono, Kepala Dinas Purbakala Bali di Bedulu, Gianyar pada tahun 1962 ketika sedang melakukan penggalian di Desa Cekik, tidak jauh di sebelah timur Gilimanuk. Dalam penggalian ini ditemukan  beberapa tulang manusia, pecahan-pecahan gerabah tanah liat, sisa-sisa makanan, seperti kulit-kulit kerang, siput laut dean tulang-tulang jenis unggas. Dalam pengamtannya di lapangan, terutama di pinggir pantai Teluk Gilimanuk  yang sudah rusak akibat abrasi yang terus menerus , Soejono menemukan  pecahan-pecahan gerabah berserakan bercampur dengan beberapa buah tulang manusia, periuk kecil,  kulit-kulit kerang dan siput laut. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang meyakinkan ini , ia memeutuskan untuk melakukan penggalian secara selektif pada tahun1963 dengan melatih sejumlah mahasiswa jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar. Penggalian ini ternyata menghasilkan temuan arkeologi yang sangat penting, yaitu sejumlah besar pecahan gerabah, kulit kerang, dan siput laut. Temuan sangat spektakuler berupa kubur terbuka (di dalam tanah tanpa wadah) dan sebuah kubur dengan tempayanyang disusun-tumpuk. Kedua jenis penguburan tersebut merupakan temuan baru dalam satu penggalian arkeologis yang sistematis.

Berdasarkan kajian terhadap temuan tersebut dan sebaran temuan permukaan tanah, Soejono memperkirakan, bahwa Situs Gilimanuk mencapai luas sekitar 20 hektar. Situs Gilimanuk yang sekarang merupakan hamparan lahan kering yang sangat gersang namun menyimpan warisan budaya yang sangat potensial mengenai kehidupan masyarakat  Gilimanuk 2000 tahun silam. Dengan memperhitungkan bukti-bukti temuan arkeologi tersebut, maka ia menetapkan suatu rencana untuk melakukanpenggalian besar-besaran selama tiga bulan 9September-November) 1964. Penggalian ini didorong juga oleh gagasannya untuk melaksanakan Field School Of Indonesian Archeology yang pertama, yang memberikan semacam pendidikan dan pelatihan lapangan, yang melibatkan rata-rata 15-20 orang mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Gajah Mada (Yogyakarta) dan Universitas Udyana (Denpasar) dengan dosen pendampingnya masing-masing. Adapun penggalian selanjutnya baru dapat dilaksanakan pada tahun 1973 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan diteruskan oleh Balai Arkeologi Denpasar hingga awal tahun 2016 yang lalu.

Walaupun sampai sekarang penggalian Situs Gilimanuk sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun dan baru sebagian kecil saja yang dapat digali, tetapi ternyata secara keseluruhan penggalian ini telah berhasil menemukan bukti-bukti kehidupan yang sangat signifikan dari komunitas nelayan Gilimanuk yang hidup sekitar 2000 tahun silam. Sampai sekarang sudah ditemukan lebih dari 150 rangka manusia (anak-anak, laki-laki, dan perempuan dewasa, ada yang masih utuh dan fragmentaris) yang dikuburkan dengan bekal kubur yang beragam, seperti gerabah, manik-manik warna-warni, gelang perunggu, gelang kaca dan gelang dari kerang. Temuan penting lainnya , ialah beberapa buah mata kail dan bandul jala. Menurut Dr. T. Jacob, penduduk Gilimanuk didominasi oleh ras Mongolid dengan ciri-ciri Melanesid yang sangat jelas, adalah penutur  Bahasa Austronesia yang berasal dari Asia Tenggara. Lebih lanjut Jacob berpendapat, bahwa kematian penduduk Gilimanuk disebabkan oleh kelebihan zat kapur. Mereka dikuburkan dengan system penguburan campuran, yaitu kubur terbuka (di dalam tanah tanpa wadah), ada juga memakai wadah tempayan susun-tumpuk, berukuran besar dan memakai sarkofagus yang berhias vagina, seperti sarkofagus Ambiarsari dan Munduk Tumpeng.

Dalam penguburan, selalu diberikan bekal kubur seperti tersebut sebagai wujud kepercayaan kepada arwah nenek moyang. Mereka percaya, bahwa rawah nenek moyang itu mempunyai kekuatan gaib yang dapat menjadi penolak kekuatan jahat dan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Di samping itu mereka juga percaya bahwa arwah nenek moyang itu berada di puncak gunung, sehingga mereka percaya kepada gunung suci yang harus dihormati.

Dengan kepercayaan ini, maka dalam penguburan, kepala selalu ditempatkan kea rah Gunung Raung atau ke pegunungan Prapat Agung. Dengan memperhitungkan kelayakan warisan budaya Situs Gilimanuk seperti yang disebutkan di atas, maka pada tahun 1990 Pemkab Jembrana bekerjasama dengan  Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Jakarta), Balai Arkeologi Denpasar dan Museum bali, Denpasar, membangun Museum Manusia Purba Gilimanuk di Situs Gilimanuk. Pembangunan museum ini tentu tidak semata-mata hanya untuk menyelamatkan dan melstarikan artefak arkeologi Gilimanuk dengan nilai-nilai sossial-budaya yang sangat penting, tetapi ada juga tujuan lain yang hendak dicapai. Museum ini akan berfungsi multidimensional, yaitu sebagai pusat dokumentasi budaya, pusat penelitian arkeologi, media penddikan, dan rekreasi. Di samping itu, museum ini dapat juga dikembangkan menjadi media pariwisata alam bersama dengan Taman Nasional Bali Barat. Pengembangan Situs Gilimanuk dapat berfungsi  juga sebagai pendorong dan pemberdayaan  kreativitas seni lokal, cendera mata, dan lain-lain. Pemerintah Kabupaten Jembrana, seperti penetapan Situs Gilimanuk sebagai cagar budaya sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang disertai kolaborasi yang sinergis dengan semua pihak terkait.

Situs Gilimanuk bersama dengan Museum Manusia Purba Gilimanuk adalah kekayaan budaya yang tidak ternilai, baik dalam konteks sejarah lokal, sejarah nasional, maupun keterkaitannya dengan sejarah kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, tetapi dengan kearifan lokal yang khas Bali. Dalam konteks kekinian, terutama dalam pembangunan ketahanan budaya bangsa ke depan, maka pemerintah pusat dan daerah, seyogyanya mengelola Situs Gilimanuk dengan cerdas, supaya modal budaya ini bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Dari sisi lain, pengelolaan Situs Gilimanuk dapat dianggap sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada nenek moyang yang telah menghasilkan karya-karya budaya yang sangat mengagumkan.

Penelitian di situs Gilimanuk dimulai pada tahun 1963 tepatnya pada bulan Juli, Agustus, September dilakukan ekskavasi secara selektif. Situs Gilimanuk merupakan kompleks kubur (nekropolis) dari masa prasejarah dengan temuan begitu banyak rangka manusia masa lalu.

 

Rangka tersebut dikubur secara bervariasi yakni dengan penguburan primer (langsung) tanpa wadah dan sekunder dengan wadah (menggunakan tempayan/sarkofagus) dengan orientasi mayat kearah perbukitan/laut disertai bekal kubur.

 

Adanya upacara kematian disertai bekal kubur merupakan satu konsepsi kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme yakni kepercayaan terhadap adanya alam kehidupan sesudah mati, sehingga perlu diadakan upacara-upacara keagamaan sebelum dikuburkan. Pada umumnya bekal kubur yang disertakan seperti benda-benda tanah liat (periuk, kendi, mangkuk, pedupaan), manik-manik (kaca, kerang, terakota, batu kalsedon), berbagai perhiasan perunggu (seperti gelang, cincin, kalung, anting, mata kail), kapak perunggu, senjata besi, dan binatang-binatang korban (babi, anjing, unggas, dan lain sebagainya).

Beberapa koleksi yang ditemukan di situs tersebut diantaranya bekal kubur seperti perhiasan (gelang perunggu, gelang kaca, manik-manik, kalung kayu), tajak perunggu, benda-benda tanah liat yg bermotif hias jala (periuk, kendi, mangkok), alat penguburan yakni tempayan dari tanah liat, tanduk rusa, tengkorak kera, serta sisa-sisa makanan (kulit kerang).

GILIMANUK NECROPOLIS SITE

The necropolis site or prehistoric burial site of Gilimanuk is located on the west most tip of Bali Island, which is on the shores of Gilimanuk Bay, Melaya District, Jembrana Regency.  This site was discovered by Prof. Dr.R.P Soejono, Office of the National Antiquities and Heritage Institute Branch II Gianyar (now Cultural Preservation Office Region XV), in 1962 when he was conducting excavation in Cekik Village, Melaya District, Jembrana Regency.

 

Various objects were found during the excavation, such as several human bones, clay pottery shards, food remains, eg. seashells, sea slugs and fowl bones.

 Massive excavations were carried out at the Gilimanuk Site for three months, September to November 1964, with findings graves of more than 100 individuals. The excavation then continued in April 1973, with the discovery of two accompanying infant graves pots and some bronze objects. Some of the excavated objects, such as pottery, beads, bracelet, and animal remains are now stored and on display at the Building B (Gilimanuk Prehistory) of Gedong Arca Museum.

bottom of page